Sebelas tahun berlalu sejak tragedi runtuhnya The World Trace Center (WTC) di Manhattan, New York, Amerika Serikat. Tragedi yang sangat memilukan bagi masyarakat Amerika ini menurut catatan National September Eleven Memorial and Museum mengakibatkan hampir 3000 manusia dari 93 negara meninggal dunia. Sebuah tragedi kemanusiaan yang sangat menyesakkan tentunya mengingat begitu banyaknya nyawa manusia tak berdosa yang harus kehilangan nyawanya. Tidak heran jika kemudian, setiap tahunnya 9/11 selalu diperingati di Amerika.

Seperti halnya tahun-tahun sebelumnya, maka peringatan 11 tahun runtuhnya gedung WTC pun kembali diperingati. Dalam pidatonya, sang Presiden Amerika, Barrack Obama, menyebutkan bahwa tragedi WTC menempatkan Amerika pada masa-masa yang sulit, namun diakuinya kemudian bahwa Amerika kini telah kembali mejadi lebih kuat sebagai sebuah negara.

Lebih lanjut Obama menambahkan: “Dibanding menyalahkan satu sama lain, kami berhasil menahan godaan untuk menyerah pada pada ketidakpercayaan dan kecurigaan. Saya selalu mengatakan bahwa Amerika sedang berperang melawan al-Qaeda dan sekutunya, dan kita tidak akan pernah berperang melawan Islam ataupun agama lainnya. Kita adalah Amerika Serikat. Kebebasan dan Keanekaragaman yang kita miliki menjadikan kita sebagai negara yang unik...”

Saya mencatat ada dua hal menarik dari apa yang disampaikan Presiden Obama pada pidato menyambut 11 tahun tragedi WTC dalam kaitannya dengan Ummat Islam. Pertama, Obama dengan jelas menyebutkan bahwa musuh dari Amerika bukanlah Islam melaingkan al-Qaeda. Suatu kelompok yang diindentifikasi sebagai “Islamist Extremist.” Islamist Extremist sendiri – masih dari penjelasan National September 11 Memorial and Museum – disebutkan sebagai kelompok yang mempercayai bahwa penggunaan kekerasan dapat diterima dalam upaya mereka untuk menjadikan landasan hukum agama sebagai landasan hukum sebuah negara.

Kedua. Obama ingin meyampaikan pesan kepada masyarakat luas bahwa Islam ataupun masyarakat Muslim yang tinggal di Amerika sangat diterima sebagai bagian dari keanekaragaman yang dimiliki oleh Amerika itu sendiri.

Islamophobia dan Sentimen Anti Ameria
Mengapa saya menggaris bawahi kedua hal tersebut. Hal ini dikarenakan kelompok masyarakat yang kemudian mendapatkan banyak ujian setelah tragedi 9/11 berlangsung adalah ummat Islam. Ummat Islam seakan menjadi “enemy of state” pasca 9/11 dikarenakan dari ke 19 orang yang didakwa sebagai pelaku penghancuran gedung WTC kesemuanya adalah Muslim. Belum lagi, al-Qaeda yang dituding berada dibalik peristiwa ini adalah kelompok yang diidentifikasi sebagai kelompak Islam Ekstrim. Tak pelak kemudian, masyarakat Muslim yang tinggal di Amerika yang kemudian mendapat perlakuan yang kurang mengenakkan. Tak terhitung banyaknya perlakuan diskriminatif yang diperoleh oleh masyarakat Muslim di Amerika. Banyak pula ummat Muslim yang kemudian dijebloskan ke penjara dengan tuduhan terorisme. Bersamaan dengan itu, Islamophobia di Amerika semakin meningkat. Masyarakat muslim hidup dalam ketakutan dan tatapan kebencian. Hal yang kemudian mengakibatkan banyak masyarakat Muslim yang memilih untuk menyembunyikan identitas ke Islamannya di hadapan publik di Amerika.

Bak gayung bersambut, di belahan dunia lain terutama di daerah yang mayoritas Muslim, sentimen anti Amerika bermunculan. Sentimen anti Amerika itu sendiri tidak hanya terjadi ada negara yang mayoritas penduduknya Muslim saja namun juga di banyak negara lain seperti Kuba, Venezuela, Meksiko, Cina, Rusia, Korea dan banyak negara lainnya termasuk di Eropa. William Russell Melton (2005) dalam bukunyaThe New American Expat; Thriving and Surviving Overseas in the Post-9/11 World menyebutkan bahwa istilah Sentimen Anti Amerika atau Anti Amerikanisme mengacu pada sikap permusuhan atau penolakan terhadap kebijakan, budaya, ekonomi, dan peran internasional Amerika Serikat. Stereotype yang sering muncul terkait hal ini adalah penggambaran bahwa Amerika itu agresif, sombong, bodoh, imperialistik, sok tau, besar mulut, menjengkelkan, serta obesitas.

Saya sendiri beranggapan bahwa salah satu penyebab munculnya sentimen anti-Amerika di negara negara Muslim muncul dikarenakan kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang seringkali dianggap mencederai ummat Islam. Perlakuan Amerika terhadap Irak, Afganistan, Pakistan, maupun Iran seringkali diartikan sebagai bentuk ketidaksukaan Amerika terhadap negara Muslim. Kita mungkin pernah mendengar selentingan isu bahwa setelah Afghanistan, Pakistan, Irak lalu Iran, Amerika juga akan menyerang Indonesia karena mayoritas penduduknya beragama Islam.

Baik Islamophobia maupun Sentimen Anti Amerika menciptakan sekat bahwa Amerika dan Islam adalah dua hal yang saling berseberangan dan tidak dapat dipersatukan. Islam akan maju tanpa Amerika dan Amerika akan lebih hebat tanpa Ummat Islam.

Ketidaktahuan Masyarakat
Baik penduduk Amerika maupun ummat Islam sesungguhnya bak dua kelompok yang saling menakuti namun tidak saling mengenal. Ummat Islam tidak begitu tahu tentang masyarakat Amerika. Ummat Islam seringkali menjeneralisasi bahwa semua yang dilakukan pemerintah Amerika mencerminkan apa keinginan masyarakat Amerika umumnya. Padahal, banyak diantara masyarakat Amerika sendiri yang juga tidak menyetujui penyerangan Amerika ke negara-negara tersebut. Apalagi penyerangan itu membutuhkan alokasi dana yang sangat besar. Dana yang seharusnya bisa dialokasikan untuk membantu masyarakat Amerika sendiri mengingat banyaknya penduduk miskin di negeri adi daya tersebut.

Sebaliknya, sangat banyak pula masyarakat Amerika yang tidak mengetahui tentang Islam. Terkadang merekapun menjeneralisasi bahwa semua ummat Islam berfikir layaknya para suicide bomber pada peristiwa Nine Eleven (9/11)

Pengalaman penulis selama menempuh kuliah di Amerika mungkin bisa menjadi gambaran. Sangat banyak orang-orang yang penulis temui tidak tahu soal Islam. Mereka bahkan tidak dapat membedakan antara Islam dan Muslim. Apa yang mereka ketahui tentang Islam mereka dapatkan dari media yang seringkali membawa mereka terperangkap pada stereotype bahwa orang Islam itu tidak baik dan membenci mereka. Sebaliknya, banyak juga orang Amerika yang memberi sympathy nya kepada ummat Islam.

Selama saya di College, ada dua kali kegiatan diskusi yang mengangkat tema tentang Islam. Ke dua kegiatan itu selalu penuh oleh peserta. Pihak College bahkan bahkan harus menyediakan gedung ekstra karena banyaknya peserta yang hadir saat itu. Saya lalu menyimpulkan bahwa sesungguhnya masyarakat Amerika pun “lapar” untuk mengetahui banyak hal tentang Islam.

Namun terlepas dari itu, saya tidak menafikkan bahwa ada golongan tertentu di Amerika yang memang tidak menyukai kehadiran Islam. Lantas, apakah kita sebagai ummat Islam atau masyarakat Amerika akan terus terperangkap untuk saling membenci, atau bangkit dan saling menghargai? Yang jelas, penghancuran gedung semacam WTC bukanlah langkah baik untuk menjalin hubungan yang lebih baik. Kita yang menentukan. To be better or to be worst...

Oleh: Syamsul Arif Galib
Mahasiswa S2 Center of Religious and Cross-cultural Studies (CRCS)-UGM

Tulisan ini dipublish di Harian Tribun Timur, 17 September 2012, dapat diakses di: http://makassar.tribunnews.com/2012/09/17/islam-dan-amerika-sebelas-tahun-pasca-911

Leave a Reply