Dalam sebuah kesempatan, seraya menikmati suguhan pisang khas Makassar pisang epe di Pantai Losari. Seorang teman saya yang kebetulan berasal dari luar Sulawesi berujar; “Makassar kini sangat berkembang. Ada banyak pembangunan di sana-sini. Sayangnya, pembangunan di kota ini tidak diimbangi oleh pembangunan SDM (Sumber Daya Manusia)-nya.”

Sebagai orang yang tinggal di daerah ini, kita mungkin saja menolak pandangan kawan saya tersebut. Namun tentu ada bias di sana. Di sisi lain, asumsi teman saya mungkin saja juga benar adanya. Entah karena memang faktanya demikian atau pemikiran teman saya telah terkontaminasi dan terskontruksi oleh media yang selalu merepresentasikan Makassar sebagai kota demonstran.

Bukan rahasia lagi kalau kemudian mahasiswa Makassar begitu terkenal untuk hal yang satu itu. Media-media nasional pun terakadang ikut serta mem blwo up aksi mahasiswa sehingga reputasi Makassar sebagai kota demonstran betul-betul terbentuk. Hal ini tentu saja berimbas kepada citra kota Makassar dan  mahasiswanya itu sendiri, terutama bagi mereka yang kuliah di luar kota. Di Jawa misalnya. Seringkali  muncul stereotype bahwa mahasiswa Makassar itu kasar-kasar. Hal ini pun diperparah karena banyak diantara orang-orang itu yang mengira kalau kata Makassar memiliki akar kata yang sama dengan kata “kasar”

Namun, “kritisme” mahasiswa yang di atas rata-rata ini tidak sepatutnya selalu dipersalahkan. Apalagi jika sifat kritis ini mampu dibawa ke arah hal yang lebih positif terutama dalam bidang pendidikan misalnya.

Mari membayangkan jika sebuah kelas diisi oleh para mahasiswa yang kritis dan begitu concern dengan pendidikan mereka. Tidak akan ada lagi dosen yang seenaknya datang terlambat mengajar dan keluar kelas jauh sebelum waktunya selesai. Takkan ada lagi dosen yang kemudian seenaknya mengajar, tidak mempersiapkan materinya dan tidak memperkaya dirinya dengan banyak membaca  karena takut akan diprotes oleh muridnya dikarenakan apa yang diajarkan  tidak lagi udate dan fix dengan realitas kekinian.

Dalam hal inilah kritisme mahasiswa Makassar diperlukan. Bukan hanya kritisme yang ditumpahkan di jalan.
Budaya kritis dalam dunia pendidikan ini pulalah yang kemudian dapat mengantarkan kita pada sebuah wacana tentang Makassar sebagai kota pendidikan.

Kota Pendidikan
Wacana Makassar sebagai kota pendidikan mungkin terdengar aneh. Apalagi jika mengingat bagaimana pandangan orang luar terhadap mahasiswa Makassar. Namun kenapa tidak? Menjadikan Makassar sebagai kota pendidikan layaknya Jogjakarta bisa saja dicoba. Tentunya dengan cita rasa tersendiri. Makassar telah berhasil menempatkan dirinya sebagai pintu gerbang menuju Indonesia Timur. Sehingga sudah seharusnya Makassar pun berbenah menuju kota tujuan pendidikan. Setidaknya untuk bagian timur Indonesia.

Faktanya memang, dibanding kota kota lainnya di Indonesia Timur, boleh di kata Makassar masih lebih baik. Kehadiran Universitas baik negeri maupun swasta juga masih lebih banyak dibandingkan kota lainnya di Indonesia Timur. Letak Makassar sebagai pintu gerbang Indonesia tentu saja menjadi faktor yang sangat mendukung. Secara jarak, jika harus mencapai Jawa yang begitu jauh. Orang orang di bagian Timur Indonesia pastilah akan memilih Makassar karena faktor kedekatan. Sisa sekarang, bagaimana memanfaat keunggulan tersebut.

Universitas di Makassar  baik itu Universitas Negeri maupun Swasta mulai diharapkan untuk mampu memperhatikan kualitas. Bukan sekedar kuantitas semata. Apalagi hanya sekedar mempercantik gedung dan menjadikan pendidikan sebagai lahan untuk mendapatkan uang.

Dalam hal ini, Universitas sudah selayaknya mendesain bentuk pembelajaran yang menjadikan mahasiswa lebih proaktif dalam proses kuliah serta berkreasi positif. Perguruan Tinggi juga diharapkan untuk mampu menghadirkan kegiatan kegiatan yang bersifat positif di kampus mereka. Bukan hanya sekedar proses belajar mengajar tok tiap harinya.

Mantan Orang nomor dua di negeri ini, Bapak HM Jusuf Kalla pernah berujar bahwa salah satu alasan kenapa mahasiswa Makassar sering demonstrasi karena sistem pendidikan di perguruan tinggi Makassar belumlah ideal dan belum beraturan. Akibatnya, mahasiswa tidak fokus untuk belajar berkreasi positif. Bahkan terkadang, dari pagi sampai sore tidak ada kegiatan kampus.

Menjadikan Makassar sebagai pusat kota pendidikan di Indonesia Timur memang tidak mudah. Namun itu bukan berarti tidak bisa.

Pemimpin Pendidikan
Momen pemilihan gubernur dan walikota yang akan datang tentunya menjadi momen yang sarat akan kepentingan.Ada banyak kepentingan di sana. Termasuk kepentingan terhadap dunia pendidikan. Isu pendidikan pun seringkali menjadi jualan para calon pemimpin.Namun bukan itu intinya. Yang kita harapkan sesungguhnya kedepan adalah, siapaun yang terpilih menjadi Gubernur dan walikota, adalah sosok yang mencintai dunia pendidikkan. Mereka yang cinta kepada pendidikan tentunya mereka yang begitu concern pada isu pendidikan bukan hanya di saat kampanye, namun sejak dahulu.

Secara umum, Sulawesi Selatan mungkin boleh berbangga dengan proses sekolah gratis yang selama ini selalu dieluk-elukkan. Namun pendidikan gratis tidaklah cukup. Ke depannya, sang gubernur maupun walikota terpilih diharapkan tidak hanya mampu menggratiskan namun mampu menaikkan kualitas pendidikan sehingga dapat menjadikan daerah ini memiliki sumber daya manusia yang mumpuni.

Sehingga suatu saat nanti, saat seseorang mengunjungi Makassar, mereka tidak lagi terpana karena kemajuan pembangunan kota ini. Namun juga karena begitu majunya Sumber Daya Manusia di kota daeng ini. ***

Oleh: Syamsul Arif Galib
Mahasiswa S2 Center of Religious and Cross-cultural Studies (CRCS)-UGM


Tulisan ini dipublish di Harian Tribun Timur, 4 July 2012, dapat diakses di:http://makassar.tribunnews.com/2012/07/04/mungkinkah-makassar-jadi-kota-pendidikan

Leave a Reply