Bagi ummat Islam di seluruh belahan
bumi manapun, Bulan Ramadhan selalu istimewa. Kesan spesial Bulan Ramadhan
dibanding bulan-bulan lainnya dikarenakan karena pada bulan inilah kemudian
ummat yang beriman diperintahkan oleh Tuhannya untuk berpuasa. Pada bulan ini
pula nilai sebuah amalan dilipat gandakan oleh Allah swt. Dan tentunya ditambah
keistimewaan lainnya.
Begitu istimewanya Ramadhan bagi
Ummat Islam, sehingga euforia penyambutannya begitu sangat terasa. Di negara
yang mayoritas penduduknya Islam, spanduk-spanduk penyambutan Bulan yang
Mubarak terlihat dimana-mana. Mesjid-mesjid berbenah. Dai-dai dimunculkan di
mimbar. Dan segala hal yang kemudian berbau Ramadhan dihadirkan di ruang-ruang
publik.
Euforia Ramadhan tidak hanya terasa
di negara yang mayoritas Muslim saja. Di negara
dimana Muslim adalah minoritas, Ramadhan pun disambut suka cita. Di
Amerika misalnya, melalui pengeras suara di Mesjid maupun Islamic Center, meski
suaranya tidak sampai terdengar ke luar, khabar gembira tentang Ramadhan
disampaikan kepada jamaah. Bahkan, ada beberapa mesjid yang sengaja mengundang
Imam Tarwih ataupun muballigh yang berasal dari luar Amerika.
Pemahaman masyarakat tenatng Ramadhan
sebagai bulan yang penuh berkah mengantarkan
masyarakat untuk menjadikan Ramadhan sebagai momen ibadah. Layaknya sebuah
perjalanan yang panjang, Ramadhan adalah bulan dimana sejenak kita berhenti untuk
kembali mempersiapkan diri kita menghadapi bulan bulan selanjutnya. Ramadhan adalah
momen untuk merefleksikan kembali apa yang telah kita jalani sejak Ramadhan
tahun lalu kita lewati.
Intensitas Ibadah di bulan Ramadhan
terasa “lebih” dibanding bulan selain Ramadhan. Fakta sosialnya, di bulan
inilah kia akan menemukan banyak orang yang berlomba membaca ayat Al-Qur’an di
dalam mesjid. Kaum miskin akan tersenyum berlebih karena banyaknya bantuan yang
mengalir kepadanya. Mesjid-mesjid akan dipenuhi jamaah yang akan melaksanakan
shalat tarawih ataupun Subuh secara berjamaah. Ayat ayat al-Qur’an diperdengarkan.
Simbol simbol ke Islaman dihadirkan. Hingga mc
di mesjid pun sampai kewalahan membacakan nama nama para dermawan.
Dalam beragama, momen-momen ibadah muncul
karena adanya pemahaman masyarakat akan momen tertentu yang dianggap suci.
Momen ini muncul karena begitu banyaknya orang yang beribadah pada saat itu
atau karena ada panggilan atau perintah Ilahi yang tidak bisa disangkal oleh
para penyembah Tuhan.
Momen-momen ibadah semacam ini
tidak hanya terdapat dalam Islam. Agama lain seperti Kristen pun memilikinya. Pada
saat Paskah ataupun Natal misalnya. Begitu banyak Ummat Kristiani yang kemudian
memenuhi gereja-gereja untuk beribadah. Namun di antara banyak orang itu banyak
pula dari mereka yang tidak pernah muncul ataupun hanya sekali-kali muncul ke
gereja pada hari hari biasa. Paskah dan Natal bagi masyarakat Kristiani aadalah
sebuah momen ibadah yang sulit dilewatkan. Demikian pula posisi ramadhan sebagai
momen Ibadah.
Hypocrite
Religiosity
Sayangnya, ibadah yang terjadi pada
momen-momen ibadah semacam ini terkadang bermuara pada kesalehan yang bersifat
temporer atau bahkan justru sebuah kesalehan yang cenderung palsu atau hypocrite religiosity. Menanggapi
fenomena semacam ini, Prof. De La Torre (2012) Seorang professor di Iliff
School of Theology, Amerika mengemukakan bahwa “Pada hari-hari tertentu yang
dianggap suci, banyak penganut agama berhubungan kembali dengan hal yang sacred atau suci, tetapi setelah hari itu
telah lewat, mereka kembali ke kekosongan kehidupan Ilahi.”
Tentunya pandangan ini tampa
bermaksud menjustifikasi ibadah yang dilakukan masyarakat di bulan Ramadhan itu
palsu.
Namun menarik kemudian untuk
menyimak kemana para pembaca Kitab Tuhan itu di saat Ramadhan telah berakhir.
Kemana para dermawan yang menginfakkan banyak sedekahnya saat Ramadhan pergi.
Kemana para Jamaah yang berdesak-desakan saat menghadiri Shalat Jamah di mesjid
kala Ramadhan. Kemana para artis yang dengan gagahyna menggunakan simbol-simbol
keagamaan di bulan Ramadhan. Mengapa mereka tak muncu di luar Ramadhan. Apakah
proses ibadah dan berbagi hanya pada Ramadhan semata?
Kesan itu semakin tertangkap saat
memperhatikan “penyusutan” Jamaah menjelang Ramadhan berakhir. Euforia penyambutan
Ramadhan yang sangat kental terasa di awal Ramadhan mulai menghilang. Posisi
mesjid tergantikan oleh Mall dan pusat pusat perbelanjaan lainnya. Di beberapa
daerah, Pasar malam Ramadhan bahkan dihadirkan mengingat tingkat konsumerisme
Ummat yang menggila di akhir Ramadhan. Tingkat komsumsi masyarakat tidak lagi
dikarenakan oleh logika kebutuhannya (need) namun lebih kepada logika hasratnya
(desire). Dalam tataran ini kegilaan kita akan konsumerisme membuat kita lupa
bahwa salah satu tujuan puasa adalah untuk mengendalikan hawa nafsu.
Ironisnya, perasaan sedih Rasul dan
para sahabat menjelang Ramadhan sepertinya tidak terlihat. Tak nampak kesedihan
karena Ramadhan akan segera berkahir.
Mungkin kita perlu menyadari bahwa
keberagaman kita dan praktik sosial ibadah yang kita lakukan di bulan Ramadhan
tidak hanya dilandasi oleh pemaham bahwa Ramadhan adalah bulan suci dan untuk
itu kita harus menghormatinya. Sehingga kemudian ibadah yang kita lakukan hanya
dikarenakan hanyalah alasan psikologis semata karena banyak orang yang
melakukan hal yang serupa. Atau sekedar show
off semata.
Dalam Injil dikisahkan bahwa Nabi.
Isa suatu ketika menasehatkan kepada
pengikutnya yang berpuasa terkait dengan orang-orang munafik yang
memperlihatkan muka murungnya agar terlihat berpuasa. Nabi Isa mengatakan; Dan apabila kamu berpuasa, janganlah muram mukamu seperti orang
munafik. Mereka mengubah air mukanya, supaya orang melihat bahwa mereka sedang
berpuasa. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya.
Tetapi apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah
mukamu, supaya jangan dilihat oleh orang bahwa engkau
sedang berpuasa...(Matius 6:16-18)
Menanggapi hal ini Jalaluddin
Rakhmat (2007) mengatakan kalau saat ini tidak perlulah kita sampai meminyaki
kepala kita saat berpuasa. Namun sangat penting untuk tidak “memamerkan” ibadah
kita. Karena sesungguhnya syarat ampunan Tuhan dalam sabda Nabi Muhammad Saw
adalah “Imanan wa Ihtisaban” dengan
keimanan dan ketulusan.
Pada bagian ke tiga di Bulan
Ramadhan ini. Mungkin belum terlambat untuk kemudian menanyakan kepada hati
kecil kita, apakah ritual ibadah yang selama ini kita lakukan betul betul
karena panggilan Ilahi atau hanya sekedar trend semata karena melihat banyak
orang yang melakukan hal yang sama. Semoga ibadah kita bukan sekedar kedok
untuk terlihat lebih religius di Bulan Ramadhan. Karena sesungguhnya Allah
mengetahui segala isi Hati. Innallaha
Alimun Bidzatis Shudur.
Oleh: Syamsul Arif Galib
Mahasiswa S2 Center of Religious and Cross-cultural Studies (CRCS)-UGM
Mahasiswa S2 Center of Religious and Cross-cultural Studies (CRCS)-UGM
Tulisan ini dipublish di Harian Tribun Timur, 4 July 2012, dapat diakses di: http://makassar.tribunnews.com/2012/08/14/ramadan-momen-ibadah-atau-hypocrite-religiosity