You get what you dream dude…
Itu kalimat ampuh yang selalu saya katakan. Wajar, saya begitu percaya tetang kekuatan mimpi. Saya sangat yakin kalau keberanian bermimpi tinggi dapat mengubah nasib seseorang. Hasil akhir masa depan manusia berbeda tergantung dari mimpinya. Mungkin hal ini pula kemudian membuat saya sampai begitu terenyuh hingga menangis suatu ketika di saat saya membaca buku serta menonton film Sang Pemimpi karangan Andrea Hirata yang fenomenal itu.
Bukan hanya sekedar percaya sebenarnya. Saya bahkan telah mengalaminya. Saya anak yang terlahir dan besar di kampung, namun akhirnya bisa mencicipi setahun kuliah di Amerika dikarenakan kekuatan mimpi. Saya berani memimpikannya. Dan saya berusaha untuk mendapatkannya. You got what you dream, right?
Sayang, sekembali ke tanah air. Saya seakan lupa kalau sesungguhnya mimpi saya belum berakhir. Saya masih memiliki mimpi-mimpi baru yang menunggu waktu menuju relitas. Mimpi menjadi penulis dan mimpi keliling Eropa. Saya sepertinya tidak sadar kalau pilihan saya memilih Jogja setelah kembali di Amerika didasari karena keinginan saya untuk banyak tahu link penerbit buku. Alhasil, meski akhirnya saya tahu kalau di Jogja sangat banyak penerbit buku, sayangnya, saya tak memiliki karya apapun yang saya bisa usulkan untuk diterbitkan.
Saya sepertinya bukan lagi Sam yang setahun lalu menghabiskan hampir tiap malamnya dengan menulis cerpen ditemani secangkir mochachino panas. Saya bukan lagi Sam yang karya cerpennya, meskipun gak enak dibaca namun tetap bisa terbitkan di majalah ataupun koran di Makassar. Saya kini menjadi Sam yang hanya bermimpi menjadi penulis namun tak lagi produktif menulis.
Saya terkadang ingin menyalahkan keadaan. Kuliah S2 betul-betul menguras tenaga dan menyita banyak waktu. Saya sempat berfikir bahwa kuliah di Amerika adalah hal terberat dalam jenjang kuliah saya. Kenyataannya, kuliah di International Program such as Religious and Cross Cultural Studies di UGM tidaklah mudah. Ini sama saja rasanya saya mengambil kuliah di Amerika. Too many materials to read and to understand.
Lantas, haruskah saya menyalahkan keadaan. Off course not. Menjadi optimis akan lebih baik ketimbang menjadi manusia pesimis. Dan pemimpi yang baik, adalah pemimpi-pemimpi yang optimis. Bukan pemimpi-pemimpi yang pesimis. Saya begitu banyak menemukan para pemimpi-pemimpi yang kemudian belakangan saya ketahui adalah para pemimpi yang pesimis. Berlindung dibelakang kata realistis. Padahal realistis yang dimaksudkannya tak lain adalah pelarian kata dari pesisimistis. C’mon guys, If you gonna be a dreamer, be an optimistic dreamer, not a pesimistic dreamer.
Dan disinilah saya sekarang. Mencoba untuk mempertajam mimpi-mimpi saya kembali. Mengatur kembali mimpi-mimpi yang sempat mengendor itu. Mimpi menjadi penulis, serta mimpi berkeliling Eropa.
“Dari mimpi semua hal dapat terjadi, Maka lebarkan sayap dan terbanglah yang tinggi.”- Bondan Prakoso.

2 Responses so far.

  1. Anonymous says:

    Yup, you just have to keep dreaming and keep going! :)

  2. Purnomoth says:

    That's true ...
    terus berkarya ,, senior

Leave a Reply